Download Film, MP3, Sofware, Ebook, Gratis, Cerita Lucu,/h1>

SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA INI. BLOG INI TEMPAT CURHAT YANG KREATIF, IMAJINATIF, SEKALIGUS INOVATIF. FUNGSINYA BISA MACAM-MACAM. TERUTAMA SEKALI ADALAH SEBAGAI MEDIA UNTUK BELAJAR. BELAJAR MENULIS, BELAJAR UNTUK PEKA. PEKA PADA DIRI DAN SEKITAR KITA. PUNYA KRITIK DAN SARAN, SILAKAN KIRIM VIA EMAIL KE: banggaheriyanto@gmail.com

Wednesday 12 November 2014

Yuk, Jadi Guru Kreatif

Kurikulum 2013 (kurtilas) yang diterapkan mulai tahun pelajaran 2014-2015 ini menekankan pendekatan scientific dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM) di sekolah. Sebagaimana dikutip dari m-edukasi.web.id, pendekatan scientific adalah pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah.
Saya, sedang menyiapkan bahan ajar dan skenario pembelajaran

Selain hasil belajar, proses belajar juga menjadi hal yang amat penting dalam pendekatan scientific. Guru tak lagi menjadi “pusat” di ruang kelas. Siswa dilibatkan secara aktif untuk mengobservasi, bertanya, menalar, dan mempresentasikan materi pembelajaran. Guru lebih berperan sebagai fasilitator yang harus kreatif dan proaktif menyiapkan media dan skenario pembelajaran, juga menyediakan sumber-sumber pengetahuan alternatif untuk siswa.

Nah, dengan peran seperti itu guru harus membekali dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan terkini. Dalam konteks tersebut, guru wajib mengenal alat dan media apa saja yang dapat digunakan untuk mendukung proses KBM supaya efektif. Di posisi itulah peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mulai kelihatan.

Manfaatkan Alat dan Media TIK
Sebetulnya, ada banyak alat dan media TIK yang dapat digunakan untuk mendukung proses KBM. Misalnya, ada proyektor untuk presentasi di kelas, laptop untuk membuat bahan ajar, dan internet untuk menjalin komunikasi guru-siswa. Namun, menurut saya, bila dikaitkan dengan konteks kekinian, semuanya akan bermuara pada dua teknologi utama, yaitu komputer dan internet.

Komputer banyak jenis dan rupa-rupa gadget-nya. Internet pun sama, banyak utility-nya. Berdasarkan fakta tersebut, paling tidak, guru harus mengetahui fungsi-fungsi dasar dari komputer dan internet. Bila guru mampu menguasai keduanya, maka ia dapat menjadi guru yang kreatif, yang mampu mengidentifikasi gaya belajar siswa masa kini dan mau beradaptasi.

Misalnya, ketika guru bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Terpadu menerangkan tentang macam-macam permukaan tanah, guru yang kreatif dan menguasai komputer juga internet, akan mulai surfing di mesin pencari (engine search) semisal Google mengenai materi tadi. Tetapi yang dicarinya bukan lagi materi yang hanya berupa teks, melainkan materi presentasi, misalnya, dalam format Microsoft Office Power Point, atau dokumen video seperti banyak terdapat di Youtube.

Bila yang dicari tidak ada, maka ia akan mulai membuatnya sendiri. Materi presentasi standar bisa ia buat di laptop menggunakan aplikasi Microsoft Office Power Point. Sedangkan animasi video dapat dibuat menggunakan aplikasi PowToon. Seluruhnya dapat dipelajari dengan mudah. Banyak tutorial tersedia di internet. Syaratnya, guru harus benar-benar bertekad menjadi guru yang kreatif dengan terus memperbarui pengetahuan serta keterampilannya di bidang TIK.

Manfaatkan Media Belajar Online
Tidak hanya sebagai sumber pengetahuan, internet dapat digunakan sebagai media pembelajaran online. Melalui jenis media ini, komunikasi guru-siswa tidak terhenti begitu jam sekolah usai, tetapi dapat terus berlangsung selama mereka terhubung internet. Contoh media belajar online antara lain:

Quipper School adalah situs pembelajaran online berupa “kelas maya” bagi guru dan siswa. Di website ini, guru dapat membuat kelas khusus dengan kuota 60 nama siswa. Guru dapat membuat lebih dari satu kelas, dan menambahkan nama-nama siswa sebagai peserta didik di kelas maya tersebut. Melalui Quipper School, guru dapat memberikan tugas atau pekerjaan rumah (PR) sesuai mata pelajaran (mapel) yang diampu dengan pilihan materi yang beragam dan disusun berdasarkan kurtilas.
Tampilan halaman depan Quipper School

Siswa dapat mengakses Quipper School melalui akun masing-masing dengan kode akses yang telah dibagikan guru, di mana kode tersebut diperoleh guru saat menambahkan peserta didik di kelas maya Quipper School. Dari akunnya siswa dapat mengerjakan PR di mana saja selama ia terhubung dengan internet.

Quipper School cukup ideal sebagai media pembelajaran online. Tampilan antarmuka (interface) Quipper School cukup user friendly. Juga, ada fitur untuk menambahkan materi pembelajaran, modul, dan soal-soal latihan bagi para guru. Jika guru kreatif, ia dapat mengoptimalkan website semacam Quipper School ini menjadi sebuah media pembelajaran baru yang dapat menunjang efektivitas pembelajaran.
Tampilan beranda user/guru

Akhirnya, kita memang tidak bisa menutup mata, bahwa keberhasilan proses KBM yang didukung oleh TIK sangat dipengaruhi oleh ketersediaan alat, media, dan kompetensi sumber daya manusia. Meski demikian, kita tetap dapat meniti tangga keberhasilan itu dengan mulai menumbuhkan kesadaran para guru untuk terus memperbarui pengetahuan dan keterampilannya di bidang TIK. Yuk, jadi guru kreatif. Salam. (BHY)

Friday 7 November 2014

Mubazir

Dikutip dari kemdikbud.go.id, anggaran kurikulum 2013 Rp2,491 triliun. Angka yang fantastis bukan? Bagaimana bila anggaran sebesar itu tidak digunakan untuk mengganti kurikulum yang sejak sebelum diterapkan sudah menuai pro-kontra, dan ketika sudah diterapkan pun hanya menyisakan banyak polemik.

Belum lagi bila kita ingat bahwa mendikbud yang baru, Anies Baswedan, akan mengevaluasi kurtilas (news.detik.com). Satu kata untuk menyebut keadaan ini: mubazir. Apa namanya bila anggaran 2,491 triliun itu kini tak ‘berdampak sistemik’ terhadap kemajuan sistem pendidikan di negeri ini?

Idiom satir ‘ganti menteri ganti kebijakan’ menjadi benar adanya. Tapi sayang, pergantian menteri dan kebijakannya tidak seperti lomba lari estafet, melainkan seperti lari sprint. Masing-masing bernafsu menuntaskan lomba di jarak pendek. Padahal bila kita tahu bahwa kita bekerja hanya dalam rentang waktu tertentu, kemudian akan digantikan orang lain, maka sodorkanlah tongkat estafet itu dengan cara dan keadaan yang benar; demi kemenangan tim, bukan prestasi pribadi.

Bila bukan untuk anggaran perubahan kurikulum, yuk kita berandai-andai uang segede itu bisa untuk apa saja. Sebagai guru TIK dan KKPI, saya mengandaikan anggaran sebesar itu untuk program pengadaan komputer.

Misalkan harga satu unit komputer dengan spesifikasi standar adalah 3.5 juta rupiah. Dengan uang 2.4 triliun, akan terbeli sebanyak 685.714 unit komputer. Jika dibagi dengan jumlah sekolah menengah pertama di Indonesia sebanyak 26.277 sekolah (data.menkokesra.go.id), maka tiap sekolah akan kebagian 26 unit komputer.

Kenapa komputer? Katanya yang menginspirasi kurtilas adalah semangat penguasaan teknologi/saintifik agar bangsa kita tak tertinggal bangsa lain. Menurut hemat saya, penguasaan teknologi hanya akan sukses bila kita punya teknologi itu. Ada alatnya. Ada medianya. Itu bisa dimulai dengan kepemilikan komputer, sebagai sebuah alat yang paling standar sebelum kita bermimpi muluk menguasai teknologi yang lain. Juga, agar anggaran besar itu tidak mubazir, alias terbuang percuma dan sia-sia. (BHY)

Mapel TIK dan KKPI, Riwayatmu Kini

Akhir 2013 lalu saya pernah mengikuti acara sosialisai kurikulum 2013 (kurtilas) di Aula Husni Hamid Pemkab Karawang, Jawa Barat. Ada dua hal yang masih saya ingat dari acara tersebut.

Pertama, disampaikan bahwa dalam kurtilas ada beberapa mata pelajaran (mapel) yang akan dihapuskan. Di antaranya adalah mapel Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk level SMP/MTs. dan mapel Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi (KKPI) di level SMA/MA.

Kedua, pernyataan narasumber yang mengutip ucapan (mantan) Mendikbud Mohammad Nuh bahwa dihapusnya mapel TIK dan KKPI salah satunya adalah karena siswa lebih terampil dari guru.

Ketika itu, ingin rasanya mendebat apa yang dikutip oleh narasumber tadi. Tapi saya tahu, acara itu judulnya sosialisasi, bukan diskusi, juga bukan public hearing. Jadi, saya berasumsi bahwa sia-sia saja berdebat, karena sepanjang yang saya alami, dalam sebuah acara sosialisasi biasanya tidak ada follow-up dari keberatan-keberatan, masukan, atau kritik yang disampaikan peserta. Sosialisasi dilakukan untuk sekadar membuat khalayak tahu saja.

Hampir satu tahun berlalu sejak acara itu. Dan, benar saja. Mulai tahun pelajaran 2014-2015 ini, mapel KKPI dan TIK sudah tidak ada di daftar mapel di SMA dan SMP (lihat Permendikbud No. 81A Tahun 2013). Semua kritik dan protes guru TIK dan KKPI se-Indonesia selama masa sosialisasi – persis seperti asumsi saya – tak digubris.

Dan fakta hari ini, saya tak lagi mengajar KKPI. Padahal, banyak orang tua siswa dan peserta didik yang menghendaki pelajaran itu tetap diajarkan. Untungnya pihak sekolah tempat saya mengajar bersikap akomodatif dengan memutuskan bahwa keterampilan komputer tetap diajarkan, tetapi bentuknya sebatas kegiatan ekstrakurikuler.

Ini juga yang menjadi bagian dari karut-marut kurtilas. Pemerintah tak menyertakan solusi yang tegas dan pas bagi nasib para guru yang mata pelajarannya dihapus. Terlebih lagi guru non-PNS yang sudah tersertifikasi. Penghapusan mata pelajaran sertifikasi akan mengakibatkan penghentian tunjangan profesi (lihat UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Padahal ada beberapa guru yang baru “menikmati” tunjangan itu kurang dari satu tahun.

Menjadi guru memang sebuah profesi mulia. Adalah tugas pemerintah untuk menjaga kehormatan guru agar tak larut dalam hiruk-pikuk urusan gaji dan tunjangan semata. Penerapan kurtilas ini hanya menyebabkan riak di air jernih yang tenang. Dan para guru TIK dan KKPI–sama seperti masyarakat lainnya–lagi-lagi harus mengurus dirinya sendiri. Yuk, ramai-ramai bertanya: di mana peran pemerintah kalau begitu? (BHR)

Saturday 20 September 2014

Pergi Langsing Pulang Gemuk (PLPG)

Empat hari yang lalu, saya merampungkan sebuah pelatihan yang sangat diidam-idamkan oleh banyak guru non PNS di negeri ini. Nama pelatihan itu adalah Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, disingkat jadi PLPG. Seluruh guru di seantero negeri ini pasti familiar dengan singkatan itu.

Selama sepuluh hari, 5 sampai 14 September 2014, saya dan 266 rekan guru mapel IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi tingkat MTs dan MA dari Bekasi, Depok, Bogor, Cianjur, Sukabumi, dan Karawang, mengikuti PLPG Kementerian Agama, Rayon 135 Universitas Pakuan, Bogor. Pelatihan berlangsung di Hotel Mars 91, Cipayung, Bogor.

Banyak hal yang saya dapatkan dari pelatihan itu, salah satunya adalah jawaban kenapa PLPG begitu dinanti-nanti dan diharap-harap oleh sebagian besar guru di republik ini.

Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa Pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. Nominal tunjangan profesi itu diatur oleh ayat (2) pasal tersebut, yakni “… setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.”

Meski demikian, tidak semua guru bisa mendapatkan tunjangan profesi itu. Ada syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi, seperti harus lulusan S1, masa kerja minimal lima tahun; dan syarat-syarat yang menjelaskan bahwa guru bersangkutan memang profesional di bidangnya. Syarat yang terakhir ini dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat pendidik yang dirilis lembaga-lembaga (universitas) yang ditunjuk oleh masing-masing institusi yang menaungi.

Nah, demi sertifikat pendidik inilah sebetulnya PLPG diselenggarakan. Selembar sertifikat yang menyatakan bahwa kami adalah guru profesional. Untuk itu, selama pelatihan kami dibekali keterampilan menyusun administrasi pembelajaran seperti RPP, PTK, KKO, rubrik penilaian, metode dan model pembelajaran, lembar observasi, oleh para instruktur yang rata-rata bergelar master dari Universitas Pakuan, Bogor.

Sebuah kesempatan yang amat berharga. Namun, tidak semua peserta diklat memiliki pandangan yang sama. Dari sepuluh peserta, barangkali hanya dua peserta yang menganggap PLPG ini sebagai momen untuk mengatrol daya profesionalitas keguruan mereka. Sisanya, masih menganggap momen PLPG hanya sebatas “pintu gerbang” untuk mendapatkan tunjangan profesi tadi. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Guru memang harus sejahtera supaya mampu menjalankan tugas dengan maksimal. Tapi, ketika kami diingatkan oleh seorang instruktur tentang sumber dana tunjangan profesi itu, dan beliau mengaitkannya dengan problem pemerataan fasilitas pendidikan di pelosok negeri ini, maka berat rasanya untuk mengabaikan betapa momen PLPG ini amat berharga.

Untuk tidak mengabaikan momen berharga itu, usai menjalani diklat, paling tidak ada beberapa pengetahuan baru yang bisa kami bawa dan terapkan di institusi pendidikan yang mensponsori kami. Jika belum mampu menyusun RPP dan PTK, minimal kami bisa menerapkan beberap ice breaker yang pernah diperagakan para instruktur yang keren dan pintar-pintar itu, agar PLPG ini tak berubah makna menjadi “pergi langsing pulang gemuk”. Masalah tunjangan profesi, anggaplah itu bagian dari misteri rejeki yang sudah diatur oleh Sang Maha Adil: tidak akan datang jika memang belum waktunya, tidak akan tertukar bila memang sudah ditetapkan porsinya. Yuk, kita percaya saja. (BHY)

Monday 14 July 2014

Buka di Luar


Ramadan memang bulan yang khas. Dari sisi agama jelas, kita semua tahu, bahwa Ramadan adalah bulan penuh berkah, penuh rahmat dan pengampunan; bulan keberuntungan bagi umat Islam karena di bulan inilah pahala dilipat-gandakan, dosa dihapuskan. Allah membuka lebar-lebar pintu kesempatan bagi hamba-Nya yang ingin meraih derajat takwa.

Tapi, bukan itu yang hendak saya tulis di sini. Para ustadz, para kiai, sudah banyak mengulas hal itu. Yuk kita lihat sisi berbeda dari Ramadan.

Zaman saya jadi reporter dulu, bulan Ramadan memberi banyak pilihan ide. Selalu ada hal yang bisa dijadikan tulisan. Ya berita, feature, atau bahkan opini. Misalnya tentang makanan dan minuman khas Ramadan, tentang bukbernya anggota dewan atau artis, tentang suasana Ramadan, khazanah Islam, harga sembako yang mendadak naik, dan tentu saja menjelang akhir Ramadan yang paling banyak diulas adalah suasana mudik dan tren baju lebaran.

Dan, ide-ide tulisan itu sebenarnya mengulang apa yang pernah ditulis pada Ramadan tahun sebelumnya. Tetapi, selalu terasa baru. Inilah Ramadan.

Ada juga istilah-istilah yang cukup populer di bulan Ramadan. Contohnya bukber (buka bersama), bubar (buka bareng), ngabuburit (menunggu bedug maghrib/tanda buka puasa), kultum (kuliah tujuh menit), takjil (makanan/minuman berbuka puasa–di KBBI artinya mempercepat buka puasa), dan istilah “buka di luar”.

Untuk yang terakhir itu, artinya kurang lebih berbuka puasa tidak di rumah tapi di suatu tempat tertentu, misalnya di restoran, di kafe, di mall, atau di alun-alun kota. Seperti yang belum lama ini saya lakukan. Kami sekeluarga “buka di luar”, dan memilih lokasi terakhir, yaitu alun-alun kota. Lokasi yang benar-benar terbuka, dengan udara luar yang segar, ramai tapi tenang, dan tersedia banyak menu berbuka puasa.

Dua Ramadan sebelumnya, kami juga buka di luar. Waktu itu lokasi yang kami pilih adalah mall, di salah satu gerai makanan cepat saji yang cukup populer di kota kami, barangkali juga di kota Anda karena gerai ini franchise-nya ada di mana-mana. Bahkan di tempat peristirahatan jalan tol luar kota.

Kali ini kami ingin suasana berbeda. Dan sudah kami dapatkan. Ternyata, buka puasa di alun-alun kota itu menyenangkan. Eh omong-omong, sudahkah Anda “buka di luar”? (BHY)

Wednesday 9 July 2014

Disandera Survei

Politik Indonesia hari ini sedang menjalani tradisi baru. Agak sedikit modern dan ilmiah lah. Para pelakunya mulai menerapkan sistematika logis guna mencapai kekuasaan, meskipun masih ada sebagian yang tetap memercayai dan mempraktikkan unsur-unsur klenik.

Tradisi baru itu adalah hadirnya sejumlah lembaga survei yang pada dasarnya melakukan dua hal pokok: memprediksi hasil pemilu melalui metode hitung cepat (quick qount), dan menakar kadar keterpilihan (elektabilitas) partai ataupun tokoh politik tertentu.

Jika dirunut ke belakang, sebetulnya kehadiran lembaga-lembaga survei semacam itu bukanlah hal yang baru-baru amat di negeri kita. Mengutip dari sinarharapan.co, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta, Gun Gun Heryanto menjelaskan bahwa ada tiga fase hadirnya lembaga survei di Indonesia.

Fase pertama di masa Orde Baru, masa di mana segala hal –termasuk informasi– masih bersifat sentralistik. Pada tahun 1968, Departemen Penerangan mendirikan Lembaga Pers dan Pendapat Umum Djakarta. Kerja lembaga ini adalah melakukan riset hasil pemilu 1971.

Fase kedua pasca-runtuhnya Orde Baru. Di fase ini sejumlah lembaga survei bermunculan dan melakukan riset secara mandiri seperti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), juga International Foundation for Election Systems (IFES).

Fase ketiga menjelang pemilu tahun 2004. Di masa ini lembaga survei semakin banyak bermunculan, di antaranya Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang oleh Susilo Bambang Yudhoyono disebut lembaga kredibel (Jawa Pos 28 Juli 2004).

Setelah melewati tiga fase itu, keberadaan lembaga survei makin ke sini makin signifikan. Malah, agak kebablasan menurut hemat saya. Kenapa kebablasan?

Pertama, para pelaku survei mulai melakukan berbagai macam modifikasi terkait hasil surveinya. Lantas, hasil survei itu banyak diburu oleh media massa untuk melegitimasi data; sebagai nara sumber pembanding, atau bahkan sebagai sumber referensi yang dianggap mampu membuat berita semakin “seksi”.

Kondisi seperti itu ibarat produsen dan distributor yang sedang mencari agen dan pasar, lalu tiba-tiba datanglah pembeli. Klop. Kemudian terjadilah transaksi.

Menjadi kebablasan ketika modifikasi hasil survei itu sudah tak lagi memotret fakta. Atau, survei dikerjakan dengan metodologi yang diarah-arahkan, bukan metodologi yang mengacu pada apa yang disepakati oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) tentang etika dan metodologi baku.

AROPI dulu pernah mengajukan uji materi (judicial review) terhadap UU No. 10 Tahun 2008 tentang pileg yang salah satu pasalnya melarang pengumuman hasil hitung cepat pada hari pemungutan suara. Uji materi itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Lihatlah yang terjadi hari ini. Tiga jam setelah waktu pencoblosan pilpres ditutup, masing-masing kubu mendeklarasikan diri sebagai pemenang. Mereka berpedoman pada hasil hitung cepat beberapa lembaga survei. Angka-angka yang dipaparkan relatif sama, antara 52 dan 48 persen. Yang berbeda adalah ketika kita lihat angka itu di TVOne, maka angka 52% milik Prabowo-Hatta. Sementara, jika kita saksikan di Metro TV, angka 52% menjadi milik Jokowi-Kalla. Inilah kebablasan yang saya maksud. Bila sudah begini, pengumuman resmi real count KPU 22 Juli nanti terasa lama sekali.


Semoga dalam masa menunggu itu tidak terjadi gesekan-gesekan di akar rumput. Dan mereka para capres-cawapres beserta tim penggembiranya masing-masing punya waktu ekstra untuk kembali merenungi hakikat jabatan yang tak lebih dari sekadar amanah, sebuah hutang, sebuah janji yang harus ditepati. Bukan semata-mata sebuah posisi yang untuk meraihnya harus sikut kanan sikut kiri. Semoga kita semua tercerahkan. (BHY) 

Tuesday 8 July 2014

"Nyoblos" Capres Lebih Menarik

Judul posting ini memang rancu ya. Ambigu. Satu kalimat dengan makna ganda. Pertama, kalimat itu dapat berarti sebuah pilihan (atau ajakan?) untuk memilih kandidat capres yang lebih menarik, capres yang punya visi lebih oke, atau capres yang menurut kita terbaik. Kedua, kalimat tersebut bisa bermakna pernyataan bahwa terlibat dalam proses pilpres 9 Juli ini (dengan ikut nyoblos/tidak golput) lebih menarik.

Dan saya, penulis judul itu, akan sedikit membuat terang ambiguitas judul posting ini. Maksud judul posting tersebut adalah, menurut saya terlibat dalam proses pilpres 9 Juli ini (dengan ikut nyoblos/tidak golput) lebih menarik. Lebih menarik dari apa? Tentu saja lebih menarik dari pileg 9 April lalu.

Baru saja saya nyoblos di pilpres 9 Juli ini, bersama istri, dan putri saya yang di usia belum lagi menginjak lima tahun sudah ikut-ikut mau nyoblos katanya. Di keluarga kecil kami, antusiasme pilpres ini memang lebih tinggi. Putri saya itu, tiap kali nonton berita tentang pilpres, selalu mengatakan akan memilih Prabowo Subianto.

Saya tanya kenapa pilih Prabowo Subianto. Malaikat kecil saya itu menjawab polos, "Nama Prabowo Subianto mirip dengan nama ayah," katanya. Dan ia selalu fasih mengeja nama capres putra sang bengawan ekonomi itu. Saya selalu tertawa dibuatnya. Padahal, nama saya dengan Prabowo cuma mirip di empat huruf terakhir nama belakang.

Saya dan istri punya antusiasme yang sama. Kami lebih menyoroti kelucuan yang dipertontonkan oleh Metro TV dan TVOne. Mungkin karena background pendidikan jurnalistik kami maka kami selalu dapat melihat sisi berbeda dari media.

Kembali ke tema posting, kenapa pilpres 9 Juli ini lebih menarik dari pileg 9 April lalu? Memilih pucuk pimpinan lembaga eksekutif, bagi saya, adalah ikhtiar yang sebenarnya untuk memilih pemimpin negeri ini. Merekalah orang-orang yang memiliki program kerja dan akan mengeksekusinya. Meski tak selalu terealisasi, orang-orang ini siap menerima caci-maki dan resiko kebijakan yang dibuat. Meski dibantu sebuah tim, tanggung jawab setiap keputusan akan selalu ditanggung satu orang.

Baru saja saya memilih satu orang itu. Satu orang yang siap dipersalahkan bila nanti kemudi negeri ini melenceng dari haluan. Satu orang yang berkesadaran penuh bahwa ada banyak hal besar disandarkan di pundaknya, dan ia tetap maju, meminta untuk dipilih, dan diharapkan mampu membereskan potensi masalah.

Orang "super" seperti ini harus dicari, bila ada kandidatnya wajib dipilih. Dan di pilpres 9 Juli ini, kita sudah punya dua kandidat. Maka, wajiblah kiranya kita menentukan pilihan.

Pileg 9 April kita memilih wakil rakyat. Kata "aspirasi" laris di kampanye para caleg. Pileg sebetulnya tidak memilih pembawa aspirasi rakyat. Pileg memilih orang yang akan mendebat setiap kebijakan si "orang super" pilihan kita tadi. Pileg memilih orang-orang yang (hanya) pintar bicara, orang-orang yang (hanya) populer, orang-orang yang (hanya) berkantung tebal.

Memilih orang yang saat kampanye pemilihan bukan membayangkan menjalankan program-program kerja, tetapi membayangkan betapa empuknya kursi yang dibayari rakyat dan pekerjaan ringan sebagai "pendebat" pemerintah.

Orang-orang yang katanya mewakili rakyat tetapi menjaga jarak dengan rakyat. Rakyat pun bingung, wakilnya berkelakuan layaknya pemerintah. Singkatnya, fakta-fakta seputar kelakuan negatif anggota parlemen, memberatkan langkah saya menuju bilik suara di pileg 9 April lalu. Inilah alasan kenapa nyoblos capres lebih menarik ketimbang nyoblos caleg. Selamat nyoblos!

Friday 20 June 2014

Urban Street Food...

Lama tanpa kabar, mantan vokalis grup band "Dr. PM", Erwin Heryadi Djiwapradja, atau yang sekarang akrab dipanggil Erwin Mad Moron, hadir lagi di jagad hiburan Indonesia. Namun kali ini Erwin eksis bukan di dunia musik, tapi di dunia kuliner.

Dunia kuliner? Yup. Vokalis yang aksi panggungnya eksentrik itu sekarang jadi host di acara bertajuk "Urban Street Food", tayang di program MNC Food and Travel, channel 98 TV berbayar Indovision. Meski belok 180 derajat (dari musik ke makanan), tetap saja ke-eksentrik-an seorang Erwin (yang mengaku berjiwa rock and roll), selalu tampil dominan. Dan itulah sebenarnya yang -menurut saya- membuat acara culinary guides semacam Urban Street Food (USF) itu jadi tidak membosankan.

Dalam acara itu, Erwin selalu tampil santai, enerjik, lucu, dan spontan. Inilah contoh "keaslian" Erwin Moron yang membuat sosoknya jadi tampak cool sekaligus riang, yang mampu secara cepat nempel di benak siapapun yang jadi lawan komunikasinya, termasuk pemirsa acara Urban Street Food dan nara sumber (pemilik/pengelola resto). Terlebih lagi, dalam acara itu ada tiga tagline yang selalu disebutkan Erwin dengan gayanya yang khas, setengah bernyanyi dan sedikit berjoget: "This is recommended to you.. u.. u..", "Sikat guys", dan "Selamat makan Indonesia".

Contohnya, lihatlah komentar sebuah akun Twitter @BasoTLGSumsum: "Ma kasih @UStreetFood_MNC, setelah tayangan USF kemarin, byk banget pemirsa Dari luar Bogor nekat ke kios bust nyobain".

Sayangnya, aksi "genuine" Erwin itu masih masih seperti kado yang terbungkus rapi. Ia cuma dinikmati oleh pemirsa TV berbayar yang jumlahnya sekitar 8% dari 40 juta rumah tangga yang memiliki televisi. Meski begitu, MNCSky selaku induk dari Indovision mengklaim menguasai 70% pelanggan TV berbayar di Indonesia yang jumlahnya sekitar 3 jutaan rumah tangga itu. Jadi, di kalangan pemirsa TV berbayar, boleh jadi acara ini cukup populer. Tetapi di kalangan pemirsa TV Indonesia umumnya, acara sebagus itu kalah populer oleh acara-acara komedi slapstick "maksa" semisal YKS (Trans TV) dan Pesbuker (ANTV) yang banyak menuai kontra.

Acara Urban Street Food sedikit mengingatkan saya pada acara serupa yang tayang di National Geographic Channel dan NatGeo People bertajuk "Street Food Around The World" yang dipandu oleh Ishai Golan. Untuk acara yang menampilkan komunikasi langsung dengan orang-orang kebanyakan (ordinary people), dibutuhkan host yang cakap, baik fisik maupun attitude-nya. Dua hal ini, saya lihat, ada di sosok Ishai dan Erwin. Lawan bicara mereka selalu tampak senang ketika diajak ngobrol. Komunikasi pun terlihat lancar. Maka terciptalah tayangan yang alami dan meninggalkan kesan yang menyenangkan di benak pemirsanya. Bukan kesan yang aneh-aneh sehingga pemirsa ketika selesai menonton bergumam kecil, "Ini kok acara maksa banget ya".

Coba misalkan Urban Street Food hadir di TV gratisan, inilah alternatif tayangan yang cukup menghibur, ketimbang melulu kita dicekoki berita "memihak" terkait musim pilpres 9 Juli mendatang. Apapun itu, yuk belajar dari sebutan Erwin di acara Urban Street Food: Rocker, Foodlover, Biker, bahwa hidup itu harus dijalani jangan terlalu serius; yang sedang-sedang saja. Amin brother. (BHR)

Thursday 29 May 2014

Bravo, Metro!

Acara talkshow "Mata Najwa" Rabu (28/5) malam itu di Metro TV sungguh menunjukkan kelasnya. Kesan keberpihakan Metro TV terhadap salah satu pasangan capres-cawapres, seperti banyak dikeluhkan sebagian pihak, seketika luntur karena untuk masing-masing kubu disediakan waktu dan tempat yang sama secara proporsional. Prinsip dasar jurnalistik, cover both side, coba dipegang teguh oleh si host jelita, Najwa Sihab.

Tidak hanya keberimbangan, Najwa juga tampak tajam dan cerdas ketika mengajukan pertanyaan. Bahkan untuk pertanyaan sensitif, yang kadang membuat nara sumber terlihat sekilas menarik nafas sesaat sebelum menjawab. Eloknya lagi, nara sumber tak terlihat tidak senang ketika ditanya, pun ketika mereka menjawab. Semuanya senang. Tontonan itu jelas memiliki nilai strategis di mata tokoh-tokoh penting, sebut misalnya Anies Baswedan dan Mahfud MD yang malam itu menjadi nara sumber pembuka, karena mereka percaya keterangan yang diberikan takkan sia-sia.

Satu lagi, melalui tayangan itu, isu-isu hangat yang selama ini hanya menjadi rumor, terkonfirmasi langsung oleh yang bersangkutan. Contohnya, pada tayangan malam itu, Mahfud MD menjelaskan kronologi kenapa beliau "menyeberang" ke poros Prabowo-Hatta yang tidak didukung PKB, partai yang semula menggadang-gadangnya sebagai cawapres; dan Anies Baswedan yang secara rinci menerangkan alasan dirinya lebih memilih duet Jokowi-JK.

Namun tetap saja, sebagai media, Metro TV memiliki kekuatan untuk menerapkan salah satu teori dasar komunikasi massa, yaitu Agenda Setting, di mana ia dapat leluasa menentukan kemana arah pesan yang hendak disampaikan.

Misalnya, terlihat pada pemilihan nara sumber di segmen akhir, yaitu Adian Yunus Yusak Napitupulu, caleg terpilih dari PDIP dapil Jabar I, dan Ahmad Yani politisi PPP yang tahun ini gagal ke Senayan.

Kedua nara sumber itu, buat saya tidak apple to apple saat membela "jagoannya" masing-masing. Misalnya, ketika Adian "menyerang" Prabowo, Yani tak tampak antusias memotong atau menyela serangan itu. Yani lebih banyak diam, dan hanya menimpali ketika ia dipersilakan Najwa. Ini bisa jadi karena Yani bukan kader Gerindra, maka ia hanya setengah hati membela sosok Prabowo. Debat akan berbeda bila Metro TV juga menampilkan kader Gerindra guna menghadapi Adian yang merupakan kader PDIP militan.

Meski begitu, tetaplah tayangan "Mata Najwa" malam itu sungguh menghibur (to entertaint), sekaligus mendidik (to educate) dan mempengaruhi (to influence). Menonton tayangan itu, saya seperti balik ke kampus. Terlebih ketika Anies Baswedan, sang Rektor Universitas Paramadina, rektor termuda Indonesia, peraih penghargaan 100 Tokoh Inteletual Muda Dunia dari Majalah Foreign Policy, anugerah Young Global Leader dari The World Economic Forum, dan Yashuhiro Nakasone Award, berujar, "Lawan diskusi adalah teman berpikir". (BHY)